Resensi Buku Sebelas Patriot oleh Marselinus Krisna


Sepakbola : Sportifitas dan Kerja Keras

Judul : Sebelas Patriot
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Gramedia
Tahun Terbit : 2011
Cetakan : Pertama
Tebal : xii, 112 halaman
Nama Siswa : Marselinus Bagas Krisnayuda / X-3 / 31



            Sebelas Patriot adalah novel ketujuh Andrea Hirata. Novel ini menceritakan tentang seorang anak penggila bola asal pulau Belitong dari kalangan rakyat miskin. Karena tekat kuatnya, ia bisa menggapai cita-cita walaupun ada sedikit kekecewaan yang mengganjal. Sebut saja Ikal, anak asal pulau Belitong dari seorang patriot sepakbola Indonesia yang dahulu berjuang habis-habisan demi mengalahkan kelicikan para penjajah di kancah lapangan hijau. Oleh karena itu, ia sangat mencintai timnas Indonesia yang disebutnya PSSI. Sampai-sampai, ia tahu tentang sejarah timnas, daftar pemain-pemain, dan segalanya tentang tim sepakbola idolanya. Ia menyebut PSSI sebagai agama keduanya. Cita-citanya tidak salah lagi menjadi pemain senior di negaranya.
            Ayah Ikal, seorang pesepakbola Indonesia di masa penjajahan Belanda. Dahulu, para penjajah Belanda membuat sebuah kompetisi olahraga Distric beheerder untuk merayakan hari lahirnya ratu Belanda. Ironi yang sesunuhnya terjadi. Van Holden memaksa orang-orang Melayu untuk memeriahkan hari lahir ratunya yang terang-terangan di siang bolong menindas mereka. Ironinya, diskriminatif dan kekejaman tetap merajalela. Sehingga, tidak ada sportifitas yang berlaku di kompetisi ini. Pada saat kompetisi lari maraton, saat atlit Indonesia hampir mencapai garis finish dipaksa untuk memperlambat pergerakannya agar atlit Belanda bisa menjadi juara. Saat kompetisi sepakbola, kesebelasan rakyat Indonesia dipaksa mengalah agar Belanda bisa mncetak gol sebanyak mungkin dan memenangkan pertandingan. Dalam lomba renang, orang Melayu terpaksa harus berpura-pura kehabisan nafas, bahkan tenggelam daripada kehabisan nyawa di dalam tangsi. Lim Kiauw yang sangat jago main bulu tangkis melampaui poin pemain Belanda. Meski pada akhir pertandingan dia telah membuat dirinya kalah, dia terlanjur dicap lancang, telah mempermalukan Belanda. Lim kemudian dilarang bermain bulu tangkis seumur hidupnya. Dengan cara semacam itu, tim-tim olahraga Belanda selalu mnjadi juara dan tim nomor satu kebanggaannya adalah tim sepakbola yang seluruh pemainnya orang Belanda. Tim ini semacam Belanda united, yakni gabungan para ambtenaar di lingkungan meskapai timah Bangka Belitong. Tim ini berada di bawah naungan persatuan sepakbola Nedelandsch Indische Voetbal Bond (NIVB). Di tengah olahraga yang telah didiskriminasi dan tekanan betin olahragawan lokal, tersebar berita tentang tiga anak muda, para kuli parit tambang, yang lihai bermain si kulit bundar. Mereka adalah tiga bersaudara yang berusia 13, 15, dan 16 tahun yang dipaksa Belanda untuk kerja rodi menggantikan ayahnya. Kabar soal kehebatan tiga saudara akhirnya sampai ke telinga Van Holden. Dalam kompetisi berikutnya, Van Holden sengaja datang ke lapangan untuk menyaksikan anak-anak muda itu bermain bola. Van Holden terpana mlihat ketiga bocah tersebut. Jika si bocah bungsu yang kini berusia 14 tahun amat gemilang sebagai sayap kiri. Bocah itu tidak salah lagi adalah ayah Ikal. Jika si kecil itu menggiring bola, penonton secara serentak berdiri dan terpukau melihatnya. Namun, seiring berjalannya waktu, bocah itu dilarang bermain bola dan dia disiksa sehingga kakinya tidak bisa digunakan untuk menyentuh bola lagi. Itulah riwayat kecil tentang ayah ikal. Sekarang Ikal sudah beranjak dewasa. Ia terus berlatih dan berlatih agar bisa menembus tim senior Indonesia. Namun, berkali-kali ia tidak terseleksi. Usai SMA dia merantau dan didapatnya berada di sebuah kelas di Universitas Sarbonne, Perancis. Dia berencana backpacking bersama teman-temannya di Spanyol untuk berkunjung ke Santiago Bernabeu yang didamba-dambakannya dari dulu. Disana dia berimpian memberikan souvenir kecil untuk ayah dan pelatihnya di kampung. Dia berencana membelikan kaos Real Madrid yang bertulisan Luis Figo. Dan ia mau memberikan kaos Barcelona untuk pelatihnya. Menyadari ketidakmungkinannya membeli kaos , ia berusaha sekuat tenaga dengan mengamen dan menjadi kuli di luar negeri demi menggapai keinginannya.
            Jarang sekali seorang penulis jenius Andrea Hirata menulis karya sastra seperti ini. Novel ini membangkitkan semangat tentang kejayaan sepakbola Indonesia. Novel ini baik sekali dibaca oleh penggila bola, mulai dari kalangan remaja, orang tua, penggila bola di Tanah Air dan terutama para pengurus PSSI. Melalui novel ini kita diajarkan tentang sportifitas, diskriminasi, cinta, dan terutama kerja keras.  Pengurus PSSI sangat dianjurkan untuk membaca novel ini disamping keteledoran dan retaknya kepengurusan PSSI belakangan ini.
            Keunggulan dari novel ini adalah mudah dibaca, tulisan-tulisan mudah dipahami oleh pembaca. Sehingga, pembaca tidak harus berfikir untuk mencerna kata-kata yang tercantum dalam novel ini. Kekurangannya tidak begitu terlihat disini. Semoga melalui novel ini bisa menjadi acuan untuk sepakbola Indonesia dan kepengurusan PSSI.

0 comments:

Post a Comment

 

Popular Posts

Popular Posts this month

Popular Posts this week